Surga dibawah telapak kaki ibu, begitulah sabda Baginda Nabi Muhamad SAW. Apapun yang terjadi, ibu tetaplah seorang ibu yang harus dimuliakan dan dihormati oleh anak-anaknya. Sekalipun ibu berbuat salah terhadap anaknya, sang anak tetaplah harus menghormati ibu. Dengan cara yang santun bila ingin mengingatkan ibu bila melakukan kesalahan.
Pernah pada hari Ahad di Rumah Amalia kedatangan seorang tamu yang ditemani putrinya. Tamu itu seorang ibu pengusaha sukses dibidangnya. Beliau bertutur bahwa memiliki ibu yang masih energik dan pekerja keras namun persoalan bagi beliau adalah ibu tua cantik itu sekarang bersaing dengan dua anak gadisnya dan cucu perempuannya dalam memikat lelaki. Semua teman dan pacar anak gadis dan cucunya yang datang berkunjung selalu digoda dan mereka tidak percaya jika dikatakan bahwa perempuan cantik itu calon mertua.
Ibu cantik itu bahkan berhasil merebut calon mantunya untuk diajak kencan dan jalan-jalan. Babak akhir dari persaingan itu mengakibatkan semua laki-laki yang tahu duduk soal kemudian lari menjauh dari gadis-gadis kekasihnya, karena sungkan atau malu. Ibu pengusaha itu juga menjadi serba salah, malu kepada suaminya, malu kepada calon ipar dan calon mantunya. Ia tidak bisa mengusir ibu kandungnya, tidak mampu pula untuk menanggung malu. Adik dan anaknya juga tidak berani mengusir ibu dan neneknya, meskipun hatinya mendongkol dan sedih. Penghuni rumah itu kemudian menjadi pendiam semuanya, kecuali ibu tua cantik yang tetap kenes.
Ibu itu bertutur bahwa dirinya telah berusaha mengatasi kegalauan perasaanya itu dengan renang di kolam renang sampai kelelahan, tetapi hanya sekejap ia dapat melupakan permasalahan di rumahnya. Ia terkadang nyetir mobil dengan ngebut untuk membuang kegundahannya, ia juga mencoba membaur dengan alam, dengan makan gelar tikar di pinggir jalan, ia ingin alamiah seperti orang lain, tetapi fikiran tetap kusut. Saya merasa benar-benar menjadi orang yang paling malang di dunia ini, katanya.
Dari omong santai dan terkadang serius itu akhirnya saya menyarankan agar ibu itu untuk membantu faqir miskin dan kaum dhuafa disekitar rumahnya. saya katakan bahwa pekerjaan itu merupakan hiburan, menghibur orang dan diri sendiri terhibur, mengobati orang dan diri sendiri terobati, membangun orang lain dan diri sendiri terbangun, yakni seperti minyak wangi yang membuat orang lain harum, tetapi minyak wangi itu sendiri tetap lebih harum.
Kepada ibu itu saya mengatakan seperti lilin yang menerangi orang lain, tetapi ia terbakar, bergaul akrab dengan tukang pandai besi, kalau tidak kena percikan api sekurang-kurangnya belepotan oleh abunya. Akan sangat baik jika menjadi matahari, memanasi orang lain tetapi dirinya lebih panas, atau seperti api, memanaskan besi tapi panas dirinya tetap lebih, atau seperti minyak wangi tadi, mengharumkan orang tetapi dirinya tetap lebih wangi, tetapi jangan pula seperti lampu yang terang benderang dari jauh, sementara yang di bawahnya tetap remang-remang. Jadilah berlian, meski terpendam dalam lumpur ia tetap indah jika dibersihkan digosok, jangan seperti kertas yang segera hancur jika terendam air.
Sejak pertemuan itu ibu pengusaha setiap kali datang ke Rumah Amalia senantiasa bercerita tentang kegiatan yang dilakukan seperti membantu anak-anak jalanan di daerah Jakarta Timur maupun mengadakan pengobatan gratis di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Apa yang dilakukan oleh Ibu pengusaha tentunya perkembangan yang sangat menggembirakan buat saya.
Tuturnya, ‘alhamdulillah Mas Agus, masalah ibu saya bukan lagi sebuah masalah justru saya membantu orang lain untuk menyelesaikan masalahnya dan akhirnya dengan sendirinya masalah ibu saya terselesaikan mengalir begitu saja.
Ibu tetaplah ibu, sampaikanpun karena dibawah telapak kakinya terdapat surga bagi anak-anaknya. Memuliakan ibu sampai akhir hayat itulah tugas dan bakti seorang anak kepada ibunya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan